Bahas Perbatasan, Dua Menlu Bertemu di Kinabalu
JAKARTA - Rencana Malaysia memberlakukan travel advisory terhadap Indonesia tidak kunjung terlaksana. Ancaman tidak langsung yang dicetuskan Menlu Malaysia Datuk Seri Anifah Aman itu hingga kemarin (28/8) belum terealisasi. Negeri jiran berencana mengimbau warganya untuk membatalkan segala kunjungan ke Indonesia jika situasi hubungan dua negara tersebut terus memburuk.
Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu menyatakan belum bersikap atas ancaman tersebut. Sebab, faktanya, hingga kini pemerintah Malaysia belum mengeluarkan travel advisory. "Kami tidak ingin beranda-andai dan membuat situasi semakin runyam,'' kata Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, saat dihubungi kemarin (28/8).
Menurut Teuku, hingga kini belum ada keterangan resmi dari pemerintah Malaysia mengenai travel advisory. Kemenlu merasa itu bukan sebuah ancaman dan hanya wacana di media massa setempat.
Ketegangan Indonesia-Malaysia pecah pasca penyanderaan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri di perbatasan dua negara tersebut di Tanjung Berakit, Riau, pada pertengahan Agustus lalu. Tiga petugas itu kemudian dibarter dengan tujuh pencuri ikan asal Malaysia. Tindakan tersebut memicu aksi demonstrasi dan pelemparan kotoran manusia ke Kedubes Malaysia di Jakarta oleh beberapa LSM. Merasa dilecehkan, Menlu Malaysia lantas memprotes aksi itu dan mengancam memberlakukan travel advisory.
Pada Jumat malam (27/8), Menlu Marty Natalegawa menyatakan telah mendesak Menlu Malaysia untuk menginvestigasi penangkapan tiga petugas dinas kelautan dan perikanan di perairan Bintan, Kepulauan Riau, pada 13 Agustus lalu. Marty menegaskan telah merespons keras tindakan di luar batas kewajaran tersebut. ''Saya sudah telepon langsung Pak Menlu Malaysia. Saya desak mereka untuk bertanggung jawab,'' kata Marty.
Menurut Marty, Malaysia siap menginvestigasi untuk kemudian hasilnya disampaikan kepada pemerintah Indonesia. Selanjutnya, dua negara tersebut sepakat untuk melakukan perundingan terkait dengan sengketa perbatasan itu di Kota Kinabalu, Malaysia, pada 6 September mendatang.
Perundingan tersebut akan fokus pada dua hal. Yang pertama adalah perlindungan terhadap WNI di luar negeri. ''Sebab, saya yakin kita semua terganggu dan terusik dengan langkah Malaysia,'' ujarnya.
Agenda kedua yang akan dibahas adalah sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia. Segmen yang belum selesai, antara lain, perbatasan di sisi Selat Malaka, Selat Malaka bagian selatan, dan Laut Sulawesi.
Marty mengatakan, pemerintah telah memiliki strategi khusus dalam perundingan tersebut. ''Saya coba melaksanakan diplomasi, tidak semua bisa dibocorkan kepada publik. Yang jelas, perundingan tidak akan selesai dalam satu hari. Dengan Vietnam saja baru selesai setelah 32 tahun,'' kata Marty.
Persoalan RI-Malaysia itu terbukti disikapi dengan serius oleh pemerintah. Indikatornya, Marty bahkan rela membatalkan kunjungan ke Korut dan Korsel yang sebelumnya dijadwalkan pada 24-28 Agustus 2010. Padahal, kunjungan ke dua negara itu bertujuan untuk membahas masalah bilateral, namun tidak tertutup kemungkinan juga membahas perkembangan di Semenanjung Korea.
Sementara itu, jajaran TNI siap siaga terkait dengan memburuknya hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Panglima TNI Djoko Santoso menegaskan kesiapan TNI untuk berperang dengan negara mana pun jika memang dibutuhkan. ''Tugas pokok TNI adalah menjaga NKRI. Bila ada gangguan dari negara luar dan ada keputusan diplomatik atau politik, TNI siap perang,'' kata Djoko setelah melantik pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Jambi di Gladia Room Hotel Abadi Suite kemarin (28/8). Selain menjabat panglima TNI, Djoko juga menjabat ketua umum PBSI. Sebelum melantik pengurus PBSI, dia melaksanakan pertemuan internal dengan anggota TNI se-Sumatera di Abadi Convention Center (ACC) Jambi.
Menurut Djoko, pada 6 September 2010, wakil RI dan Malaysia akan berunding di Kinabalu untuk membicarakan perbatasan kedua negara. Dia mengatakan, RI selama ini mengedepankan diplomasi dalam menghadapi urusan bilateral, termasuk masalah penangkapan tiga anggota DKP Kepri beberapa waktu lalu.
Percuma Bahas Perbatasan
Pemerintah Indonesia terus didesak untuk bertindak tegas kepada Malaysia. Bahkan, saat Joint Ministry Conference (pertemuan antarmenteri) yang rencananya dilaksanakan di Kinabalu, Malaysia, 6 September mendatang, beberapa pihak mendesak agar pemerintah tidak terjebak dalam persoalan perbatasan.
Sebaliknya, pemerintah diminta fokus pada penyelesaian kasus-kasus hukum yang lebih konkret. ''Saya yakin, sampai kapan pun, masalah perbatasan tidak akan bisa selesai,'' ucap pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana dalam diskusi kemarin (28/8).
Menurut dia, jika dipaksakan, dialog serta pembahasan soal perbatasan itu akan menghabiskan energi dan tidak menghasilkan apa pun. Dia memperkirakan, pembahasan perbatasan yang bertele-tele akan menemui kebuntuan.
Sebab, bagaimanapun, Indonesia dan Malaysia memiliki keinginan kuat untuk mempertahankan daerah yang mereka klaim sebagai wilayahnya. ''Kita (Indonesia) dan mereka (Malaysia) tidak akan melepaskan meskipun cuma sejengkal,'' tegasnya.
Karena itu, lanjut Hikmahanto, lebih baik dalam pertemuan nanti pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) fokus membahas permasalahan yang terjadi karena konflik perbatasan tersebut. Misalnya, perlakuan buruk Malaysia kepada tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau (DKP Kepri) yang ditangkap Marine Police Malaysia (MPM) beberapa waktu lalu.
Namun, dia mengingatkan agar pemerintah punya data menyeluruh dan akurat terkait insiden tersebut. Sebab, Kemenlu bukanlah pelaku di lapangan. Selain itu, dia menilai koordinasi antara Kemenlu dan DKP selama ini kurang bagus.
Hikmahanto menerangkan, ketegasan pemerintah dalam pertemuan tersebut merupakan salah satu upaya untuk membela kepentingan dan harkat martabat bangsa. Bahkan, dia mendesak pemerintah agar segera membuat perjanjian dan pengawasan terhadap pelaksanaan hukuman bagi warga negara Indonesia di Malaysia. ''Jangan sampai Malaysia bertindak semena-mena,'' tuturnya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Roy Suryo menyatakan, salah satu isi surat yang dikirimkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Perdana Menteri Malaysia Datok Sri Moh Najib Tun Abdul Razak adalah terkait Joint Ministry Conference. Dia enggan merinci.
Tapi, dia hanya menyebutkan, hal terpenting dalam surat tersebut adalah pemerintah Indonesia meminta permasalahan kedua negara diselesaikan dengan baik. ''(Pengiriman surat) itu agar tidak ada kerugian lagi,'' kata politikus Partai Demokrat tersebut.
Siapkan Deportasi TKI
Pada bagian lain, Memanasnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Malaysia terus berlanjut. Setelah mengancam akan mengeluarkan travel advisory (imbauan untuk tidak terbang), negeri jiran itu kembali menggelitik emosi warga Indonesia melalui ancaman deportasi ribuan TKI.
Malaysia telah menyiapkan beberapa kapal untuk memulangkan ribuan WNI yang terlibat pelanggaran hukum di negeri tersebut. "Mereka sudah membuat kontrak dengan perusahaan-perusahaan pelayaran untuk mendeportasi para WNI yang melanggar keimigrasian," ujar Dirjen Pembinaan dan Penempatan TKI, Kemnakertrans, Abdul Malik Harahap kemarin (28/8).
Malik menyebutkan, sekitar 6.845 WNI tersangkut masalah hukum di Malaysia. Menurut data yang dirilis KBRI Kuala Lumpur tersebut, 177 orang diancam hukuman mati. Data itu juga dihimpun dari 23 penjara yang ada di Malaysia. Di antara itu, 142 orang terkena kasus narkoba dan 35 orang terlibat kasus pembunuhan dan kejahatan dengan menggunakan senjata api.
Malik menjelaskan, dari beragam kasus, yang paling banyak dialami TKI adalah kasus keimigrasian. "Yang paling banyak pelanggaran keimigrasian," ujar Malik pada diskusi bertema Nasib TKI dan Diplomasi Setengah Hati di Warung Daun, Cikini, Jakarta, kemarin (28/8). ''Karena itu, Kantor Keimigrasian Malaysia dilaporkan siap kapan saja untuk memulangkan WNI," imbuhnya.
Secara terpisah, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menilai, pemerintah melalui Kemlu seharusnya bisa memberikan pernyataan tegas kepada Malaysia.
Diakui bahwa diplomasi merupakan upaya untuk tetap mempertahankan hubungan baik kedua negara. Namun, lanjutnya, diplomasi seharusnya juga memperhatikan reaksi masyarakat yang muncul atas ulah Malaysia. "Memang persahabatan tidak boleh ditinggalkan. Tapi, kita tidak boleh juga meninggalkan harga diri bangsa," ujar Ical -sapaan Aburizal- menjelang peringatan Nuzulul Quran di DPP Partai Golkar, Jakarta, kemarin (28/8).
Posisi Indonesia dengan Malaysia, kata Ical, juga dibahas secara khusus dalam forum sekretariat gabungan (Setgab). Sikap fraksi dalam Setgab sangat jelas, yaitu meminta ketegasan diplomatik yang tajam. "Setgab juga meminta Malaysia menyelesaikan masalah perbatasan," jelasnya.
Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Thohari melihat hubungan Indonesia dengan Malaysia harus ditata dari nol. Selama ini hubungan kedua negara didasarkan pada asumsi retorik semata, seperti sahabat serumpun dan tetangga istimewa. "Itu sifatnya emosional," kata Hajriyanto.
Menurut dia, hubungan kedua negara harus ditata ulang tanpa asumsi retorika. "Hubungan harus ditata rasional. Semua hal harus diselesaikan secara tuntas, tanpa jargon-jargon itu," jelasnya. Jika tidak, persoalan antar kedua negara akan kembali terjadi tanpa penyelesaian yang tegas.
Sumber : Jawa Pos
JAKARTA - Rencana Malaysia memberlakukan travel advisory terhadap Indonesia tidak kunjung terlaksana. Ancaman tidak langsung yang dicetuskan Menlu Malaysia Datuk Seri Anifah Aman itu hingga kemarin (28/8) belum terealisasi. Negeri jiran berencana mengimbau warganya untuk membatalkan segala kunjungan ke Indonesia jika situasi hubungan dua negara tersebut terus memburuk.
Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu menyatakan belum bersikap atas ancaman tersebut. Sebab, faktanya, hingga kini pemerintah Malaysia belum mengeluarkan travel advisory. "Kami tidak ingin beranda-andai dan membuat situasi semakin runyam,'' kata Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, saat dihubungi kemarin (28/8).
Menurut Teuku, hingga kini belum ada keterangan resmi dari pemerintah Malaysia mengenai travel advisory. Kemenlu merasa itu bukan sebuah ancaman dan hanya wacana di media massa setempat.
Ketegangan Indonesia-Malaysia pecah pasca penyanderaan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri di perbatasan dua negara tersebut di Tanjung Berakit, Riau, pada pertengahan Agustus lalu. Tiga petugas itu kemudian dibarter dengan tujuh pencuri ikan asal Malaysia. Tindakan tersebut memicu aksi demonstrasi dan pelemparan kotoran manusia ke Kedubes Malaysia di Jakarta oleh beberapa LSM. Merasa dilecehkan, Menlu Malaysia lantas memprotes aksi itu dan mengancam memberlakukan travel advisory.
Pada Jumat malam (27/8), Menlu Marty Natalegawa menyatakan telah mendesak Menlu Malaysia untuk menginvestigasi penangkapan tiga petugas dinas kelautan dan perikanan di perairan Bintan, Kepulauan Riau, pada 13 Agustus lalu. Marty menegaskan telah merespons keras tindakan di luar batas kewajaran tersebut. ''Saya sudah telepon langsung Pak Menlu Malaysia. Saya desak mereka untuk bertanggung jawab,'' kata Marty.
Menurut Marty, Malaysia siap menginvestigasi untuk kemudian hasilnya disampaikan kepada pemerintah Indonesia. Selanjutnya, dua negara tersebut sepakat untuk melakukan perundingan terkait dengan sengketa perbatasan itu di Kota Kinabalu, Malaysia, pada 6 September mendatang.
Perundingan tersebut akan fokus pada dua hal. Yang pertama adalah perlindungan terhadap WNI di luar negeri. ''Sebab, saya yakin kita semua terganggu dan terusik dengan langkah Malaysia,'' ujarnya.
Agenda kedua yang akan dibahas adalah sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia. Segmen yang belum selesai, antara lain, perbatasan di sisi Selat Malaka, Selat Malaka bagian selatan, dan Laut Sulawesi.
Marty mengatakan, pemerintah telah memiliki strategi khusus dalam perundingan tersebut. ''Saya coba melaksanakan diplomasi, tidak semua bisa dibocorkan kepada publik. Yang jelas, perundingan tidak akan selesai dalam satu hari. Dengan Vietnam saja baru selesai setelah 32 tahun,'' kata Marty.
Persoalan RI-Malaysia itu terbukti disikapi dengan serius oleh pemerintah. Indikatornya, Marty bahkan rela membatalkan kunjungan ke Korut dan Korsel yang sebelumnya dijadwalkan pada 24-28 Agustus 2010. Padahal, kunjungan ke dua negara itu bertujuan untuk membahas masalah bilateral, namun tidak tertutup kemungkinan juga membahas perkembangan di Semenanjung Korea.
Sementara itu, jajaran TNI siap siaga terkait dengan memburuknya hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Panglima TNI Djoko Santoso menegaskan kesiapan TNI untuk berperang dengan negara mana pun jika memang dibutuhkan. ''Tugas pokok TNI adalah menjaga NKRI. Bila ada gangguan dari negara luar dan ada keputusan diplomatik atau politik, TNI siap perang,'' kata Djoko setelah melantik pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Jambi di Gladia Room Hotel Abadi Suite kemarin (28/8). Selain menjabat panglima TNI, Djoko juga menjabat ketua umum PBSI. Sebelum melantik pengurus PBSI, dia melaksanakan pertemuan internal dengan anggota TNI se-Sumatera di Abadi Convention Center (ACC) Jambi.
Menurut Djoko, pada 6 September 2010, wakil RI dan Malaysia akan berunding di Kinabalu untuk membicarakan perbatasan kedua negara. Dia mengatakan, RI selama ini mengedepankan diplomasi dalam menghadapi urusan bilateral, termasuk masalah penangkapan tiga anggota DKP Kepri beberapa waktu lalu.
Percuma Bahas Perbatasan
Pemerintah Indonesia terus didesak untuk bertindak tegas kepada Malaysia. Bahkan, saat Joint Ministry Conference (pertemuan antarmenteri) yang rencananya dilaksanakan di Kinabalu, Malaysia, 6 September mendatang, beberapa pihak mendesak agar pemerintah tidak terjebak dalam persoalan perbatasan.
Sebaliknya, pemerintah diminta fokus pada penyelesaian kasus-kasus hukum yang lebih konkret. ''Saya yakin, sampai kapan pun, masalah perbatasan tidak akan bisa selesai,'' ucap pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana dalam diskusi kemarin (28/8).
Menurut dia, jika dipaksakan, dialog serta pembahasan soal perbatasan itu akan menghabiskan energi dan tidak menghasilkan apa pun. Dia memperkirakan, pembahasan perbatasan yang bertele-tele akan menemui kebuntuan.
Sebab, bagaimanapun, Indonesia dan Malaysia memiliki keinginan kuat untuk mempertahankan daerah yang mereka klaim sebagai wilayahnya. ''Kita (Indonesia) dan mereka (Malaysia) tidak akan melepaskan meskipun cuma sejengkal,'' tegasnya.
Karena itu, lanjut Hikmahanto, lebih baik dalam pertemuan nanti pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) fokus membahas permasalahan yang terjadi karena konflik perbatasan tersebut. Misalnya, perlakuan buruk Malaysia kepada tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau (DKP Kepri) yang ditangkap Marine Police Malaysia (MPM) beberapa waktu lalu.
Namun, dia mengingatkan agar pemerintah punya data menyeluruh dan akurat terkait insiden tersebut. Sebab, Kemenlu bukanlah pelaku di lapangan. Selain itu, dia menilai koordinasi antara Kemenlu dan DKP selama ini kurang bagus.
Hikmahanto menerangkan, ketegasan pemerintah dalam pertemuan tersebut merupakan salah satu upaya untuk membela kepentingan dan harkat martabat bangsa. Bahkan, dia mendesak pemerintah agar segera membuat perjanjian dan pengawasan terhadap pelaksanaan hukuman bagi warga negara Indonesia di Malaysia. ''Jangan sampai Malaysia bertindak semena-mena,'' tuturnya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Roy Suryo menyatakan, salah satu isi surat yang dikirimkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Perdana Menteri Malaysia Datok Sri Moh Najib Tun Abdul Razak adalah terkait Joint Ministry Conference. Dia enggan merinci.
Tapi, dia hanya menyebutkan, hal terpenting dalam surat tersebut adalah pemerintah Indonesia meminta permasalahan kedua negara diselesaikan dengan baik. ''(Pengiriman surat) itu agar tidak ada kerugian lagi,'' kata politikus Partai Demokrat tersebut.
Siapkan Deportasi TKI
Pada bagian lain, Memanasnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Malaysia terus berlanjut. Setelah mengancam akan mengeluarkan travel advisory (imbauan untuk tidak terbang), negeri jiran itu kembali menggelitik emosi warga Indonesia melalui ancaman deportasi ribuan TKI.
Malaysia telah menyiapkan beberapa kapal untuk memulangkan ribuan WNI yang terlibat pelanggaran hukum di negeri tersebut. "Mereka sudah membuat kontrak dengan perusahaan-perusahaan pelayaran untuk mendeportasi para WNI yang melanggar keimigrasian," ujar Dirjen Pembinaan dan Penempatan TKI, Kemnakertrans, Abdul Malik Harahap kemarin (28/8).
Malik menyebutkan, sekitar 6.845 WNI tersangkut masalah hukum di Malaysia. Menurut data yang dirilis KBRI Kuala Lumpur tersebut, 177 orang diancam hukuman mati. Data itu juga dihimpun dari 23 penjara yang ada di Malaysia. Di antara itu, 142 orang terkena kasus narkoba dan 35 orang terlibat kasus pembunuhan dan kejahatan dengan menggunakan senjata api.
Malik menjelaskan, dari beragam kasus, yang paling banyak dialami TKI adalah kasus keimigrasian. "Yang paling banyak pelanggaran keimigrasian," ujar Malik pada diskusi bertema Nasib TKI dan Diplomasi Setengah Hati di Warung Daun, Cikini, Jakarta, kemarin (28/8). ''Karena itu, Kantor Keimigrasian Malaysia dilaporkan siap kapan saja untuk memulangkan WNI," imbuhnya.
Secara terpisah, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menilai, pemerintah melalui Kemlu seharusnya bisa memberikan pernyataan tegas kepada Malaysia.
Diakui bahwa diplomasi merupakan upaya untuk tetap mempertahankan hubungan baik kedua negara. Namun, lanjutnya, diplomasi seharusnya juga memperhatikan reaksi masyarakat yang muncul atas ulah Malaysia. "Memang persahabatan tidak boleh ditinggalkan. Tapi, kita tidak boleh juga meninggalkan harga diri bangsa," ujar Ical -sapaan Aburizal- menjelang peringatan Nuzulul Quran di DPP Partai Golkar, Jakarta, kemarin (28/8).
Posisi Indonesia dengan Malaysia, kata Ical, juga dibahas secara khusus dalam forum sekretariat gabungan (Setgab). Sikap fraksi dalam Setgab sangat jelas, yaitu meminta ketegasan diplomatik yang tajam. "Setgab juga meminta Malaysia menyelesaikan masalah perbatasan," jelasnya.
Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Thohari melihat hubungan Indonesia dengan Malaysia harus ditata dari nol. Selama ini hubungan kedua negara didasarkan pada asumsi retorik semata, seperti sahabat serumpun dan tetangga istimewa. "Itu sifatnya emosional," kata Hajriyanto.
Menurut dia, hubungan kedua negara harus ditata ulang tanpa asumsi retorika. "Hubungan harus ditata rasional. Semua hal harus diselesaikan secara tuntas, tanpa jargon-jargon itu," jelasnya. Jika tidak, persoalan antar kedua negara akan kembali terjadi tanpa penyelesaian yang tegas.
Sumber : Jawa Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar